oleh Nurul Ro'fah
A. Pengertian Moralitas
Moralitas terutama membahas tentang apakah kita
sebagai manusia merupakan manusia yang baik atau buruk. Moralitas melihat
bagaimana manusia yang satu mesti memperlakukan manusia yang lain. Moralitas
merupakan pemahaman nilai dan norma yang menjadi pegangan seorang individu dan
komunitas agar kebebasan dan keunikan masing-masing individu tidak dilanggar
sehingga mereka semakin menghargai kemartabatan masing-masing.
Secara umum moralitas membahas
tentang bagaimana individu memperlakukan orang atau hal-hal
lain secara baik sehingga menjadi cara bertindak , terutama bagi pribadi dan
komunitas. Ada beberapa konsep moral berdasarkan analisis diantaranya sebagai berikut
;
1.
“baik” dan “buruk”.
2.
“benar” dan “salah”.
3.
“harus” dan “tidak harus”.
B. Masalah Moralitas
1.
Kekerasan Terhadap Wanita
Di indonesia, kekerasan
menunjukkan peningkatan yang cukup melesat. Khususnya mulai dari kekerasan
terhadap wanita, remaja, anak-anak atau bahkan terhadap bayi sekalipun yang
masih suci dan belum mengetahui warna-warni kehidupan. Pelaku kekerasan umumnya
beragam mulai dari tingkat dewasa, remaja bahkan anak-anak.
Namun yang paling berperan dalam pelaku tindak kekerasan adalah
orang dewasa. Mengapa orang dewasa
melakukan tindak kekerasan, padahal mereka mengetahui tindak kekerasan tidak
sesuai dengan pancasila? Bukankan orang dewasa dulu juga pernah mengenyam
pendidikan sekolah ? dan belajar tentang pendidikan moral pancasila.
Tak jarang yang menjadi korban kekerasan
adalah para remaja. Khususnya wanita, ada seorang anak yang mengalami kekerasan
dari ayah tiri ataupun ayah kandungnya. Bahkan untuk menyempurnakan
tindakannya, tidak segan-segan seorang ayah mencabuli anaknya yang masih remaja
setelah melakukan tindakan kekerasan.
Dalam tragedi lainnya, kekerasan di
gencarkan oleh sekumpalan laki-laki berjumlah 7 orang mencabuli seorang gadis
yang masih duduk di bangku sekolah. Para pelaku melakukan tindakannya di sebuah
kebun bahkan rumah kosong. Mereka melakukan tindakan bejat tersebut secara
bergantian. Ini adalah realita yang sangat menyakitkan. Para wanita harus lebih
berhati-hati untuk mencegah segala bentuk penyimpangan yang terjadi dan
khususnya bagi para orang tua untuk lebih menjaga anak-anaknya agar tidak
menimbulkan kejadian yang tidak di inginkan.
Kekerasan terhadapa wanita mengalami
peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Di mulai dari KDRT,
pemerkosaan, dan pelecehan seksual hingga tak jarang berujung pada pembunuhan.
Padahal keberadaan Perempuan sangat berperan
penting terhadap kemajuan suatu bangsa. Hak-haknya pun dilindungi dalam undang-undang.
Perempuan semestinya
mendapat hak yang setara memaksimalkan kemampuan serta peluang di bidang
pendidikan, ekonomi, kesehatan, hingga politik. Perempuan tidak selayaknya mendapatkan penindasan dan
kekerasan. Dalam harian republika, Komisi X DPR Inggrid Kansil mengemukakan
bahwa, "Pemberdayaan
perempuan masih perlu terus ditingkatkan," Jumat, (26/4).
Kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita saat ini.
Kekerasan secara tidak langsung adalah hasil ulah manusia sendiri. Seperti
elemen-elemen lain, tanpa di sadari kekerasan hadir di tengah kita melalui
suatu proses pembudayaan. Dan proses pembudayaan umumnya berawal melalui media-media.
2.
Media ditengah Generasi Muda
Media adalah salah satu yang paling banyak dikonsumsi anak-anak.
Egoisnya, terkadang sebagian masyarakat tidak
menyadari bahwa selain dirinya, ada juga
anak-anak yang belum layak ikut menonton film-film yang hanya mengekspos
kekejaman dan kekerasan. Manusia telah begitu terjerat oleh uang, dan tidak
peduli. Mereka
memproduksi atau mengimpor film-film dengan warna kekerasan tadi, lembaga resmi
yang bertugas menyensor pun tidak melakukannya.
Di indonesia, seperti halnya Film “Virgin”,
sangat menggambarkan gejolak kehidupan remaja di negeri ini. “Virgin”
mengangkat realitas remaja yang sengaja atau tidak, terjebak dalam kehidupan
materialis, mengejar kesenangan semu lewat jalan pintas, melacurkan diri hanya
untuk memiliki sesuatu yang diinginkan, sebagaimana yang di miliki teman-teman
gaulnya yang lain.
Dari sisi pemilihan naskah/cerita,
sebetulnya film ini cukup berhasil merekam realitas masyarakat yang berada di
kota metropolitan. Produser film ini secara tidak langsung memberitahu
masyarakat tentang perkembangan gaya hidup remaja di kota-kota. Perkembangan
gaya hidup yang mesti diprihatini, Memiliki pesan moral bagi para orang tua
agar tidak lagi sibuk mengurus dirinya, melainkan harus mewaspadai pergaulan
anaknya juga.
Namun di sisi lain, film ini mendapat
protesan keras dari masyarakat. Film ini di nilai sangat tidak wajar untuk
ditonton oleh remaja. Ada kekhawatiran remaja akan menyontoh dan menjadikan
panutan hingga selanjutnya menjadikan sebagai “gaya hidup” untuk
mengekspresikan diri sebagai anak gaul. Tidak semua remaja dapat mengambil
manfaat positif dari film tersebut.
Terkadang film bermaksud memberi pemahaman
kepada penonton (khususnya remaja yang masih berproses dalam pencarian jati
diri) agar tidak mengikuti gaya gaul tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam sebuah
film. Namun, justru sebaliknya. Film tersebut menjadi trend baru dalam
pergaulan sehari-hari.
Seperti halnya televisi, media ini lebih sering dikonsumsi oleh anak-anak. Hendaknya media televisi
membebaskan dirinya dari bentuk kekerasan secara umum maupun kekerasan terhadap
wanita dan anak-anak. Hal ini
disebabkan media anak khususnya televisi, merupakan salah satu media penting
bagi anak-anak dalam proses penyerapan (internalisasi) nilai-nilai sosial
tertentu di masyarakat.
Media televisi selayaknya menayangkan berbagai tayangan yang menjurus
kepada pengetahuan dan nilai-nilai edukasi dalam waktu tayang tertentu, disaat waktu yang memungkinkan untuk
anak-anak menonton televisi. Selain
dalam dunia media, kekerasan dan kejahatan pun semakin merajalela dalam
kehidupan nyata.
Tragedi copet dan pembunuhan misalnya,
adalah salah satu tindakan yang kemungkinan terinspirasi dari berbagai tayangan
film-film atau sinetron televisi yang beredar di masyarakat. Perlunya
pengolahan kembali dalam individu masing masing setelah menonton tayangan
film-film yang mengandung kekerasan dan kekejaman, jangan sampai menyebabkan
perilaku penyimpangan moral yang terserap di otak masyarakat khususnya generasi
kedepan. Dalam hal ini, pendidikan rohani dan pendidikan moral ataupun karakter
perlu di tekankan kembali dalam keluarga sebagai benteng utama dan lingkungan
sekitar.
3.
Pengemis dan Pengamen
Pengemis
dan Pengamen yang berkeliaran menjadi hiasan kota-kota dianggap suatu hal yang
biasa. Kedua profesi tersebut merupakan potret
kemerosotan moral bangsa. Mereka yang berprofesi sebagai pengemis sebenarnya
bisa menghasilkan uang dengan cara yang lebih baik dan halal. Karena pada
dasarnya setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya. Dalam agama islam
profesi meminta-minta(mengemis) tidak disukai Allah, begitupun dengan agama
lain.
Pengemis yang berkeliaran di kota-kota atau tempat umum adalah
suatu bukti betapa sulitnya lapangan pekerjaan dan sikap malas masyarakat dalam
bekerja dan mencari pekerjaan. Profesi pengemis seolah-olah menjadi pekerjaan
sektor informal baru. Di antara mereka ada yang dipekerjakan oleh orang-orang
tertentu, bahkan orang tua mereka sendiri.
Saat ini marak profesi
pengemis(minta-minta) yang di lakukan oleh para pemuda dengan cara baru. Mereka
tidak menampakan sikap perlu dikasihani, tetapi tindakan mereka lebih kepada
perilaku premanisme. Menatap para penumpang bus kota atau angkutan umum dengan
tatapan tajam seolah-olah memaksa, sehingga membuat sebagian para penumpang
takut dan memilih merelakan uang dengan cara yang tidak ikhlas (terpaksa).
sebagian dari mereka bahkan ada yang
sempoyongan memegang rokok dan menadahkan tangan untuk meminta uang, kemungkinan
mereka mabuk atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Mereka berorasi demi
sebungkus nasi, dari pada saya mencopet ujarnya. Mereka pikir cara seperti
itulah yang paling baik bagi mereka.
Seperti halnya pengemis, pengamen pun nampaknya telah menjadi jenis
pekerjaan sektor informal baru yang dulunya hanya dilakukan oleh kaum waria
(bencong). Tiba-tiba tempat para bencong itu digusur oleh para pemuda lulusan Sekolah Menengah atau bahkan sekolah dasar. Jika para bencong dulu mengamen hanya terutama di rumah-rumah
penduduk, di dalam gang-gang. Saat ini para pemuda
menyerang pendengarnya di atas bus-bus umum dan kereta ekonomi.
Para bencong mengamen dengan kesan malu-malu, pemuda saat ini mengamen dengan memperlihatkan sikap bangga, dengan
alasan Iwan Fals, “penyanyi itu, pun dulunya pengamen juga”. Para bencong
mengamen demi seratus-dua ratus rupiah, para pemuda
umumnya bilang mengamen hanya sebagai penyaluran bakat seni, sebagai batu
loncatan menjadi penyanyi dan merekam lagu-lagunya.
Setiap orang bebas membuat alasan yang masuk akal. Setiap orang pun
bebas untuk lari dari kenyataan. Tapi mungkin yang lebih baik adalah realistis
menerima kenyataan, bahwa zaman sekarang mencari pekerjaan susah dan yang bisa
mereka lakukan baru itu (mengamen).
Banyak masyarakat menaruh simpati yang dalam pada nasib para pengamen.
Mereka adalah pemuda yang serba tanggung, membiarkan
diri menganggur tidak bisa. Karena pada kenyataannya mereka memiliki ijazah
SD/SMP/SMA, masuk perguruan tinggi tidak bisa, karena kondisi ekonomi yang
tidak memungkinkan, dan ingin bekerja saingannya para sarjana. Tetapi tindakan
mereka ngamen di atas bus umum dan kereta
ekonomi disepanjang jalan, sebenarnya sangat mengganggu.
Pengamen sebaiknya kerja berkelompok. Menggelar pentas di
tempat-tempat umum, memukul bunyi-bunyian untuk mengundang sedikitnya tiga
puluhan orang, baru kemudian memulai pertunjukan. Dalam hal ini para pendatang
jelas akan
suka rela, rela mendengar musiknya karena suka, dan rela memberikan seratus-dua
ratus karena merasa ada semacam kewajiban sosial, bukan karena terpaksa atau
kasihan, seperti halnya yang mereka lakukan di bus-bus umum dan kereta ekonomi.
4.
Generasi Muda dalam Lingkungan Pendidikan
-
Budaya Mencontek dan Kecurangan
Mencontek adalah awal dari ketidakjujuran, ketidakpercayaan diri, ketidakmampuan
diri, paranoid berlebihan akan sebuah kegagalan. Mencontek merupakan kebiasaan
buruk yang sudah menjadi budaya. Budaya mencontek adalah perilaku deviatif
taraf awal yang mengarah pada terbentuknya karakter korup. Budaya mencontek
merupakan salah satu bentuk penyimpangan primer yang lazim dilakukan oleh para
siswa.
Para siswa yang terbiasa
melakukan kebiasaan mencontek. Memulainya dari skala terkecil, yaitu saat mengerjakan
tugas, saat ulangan harian atau ulangan semester dan akhirnya sampai
pada skala besar, yaitu Ujian Nasional (UN). Pihak sekolah harus lebih tegas dan berani mengatakan ‘tidak’
pada kegiatan-kegiatan mencontek. Pihak sekolah dan staff guru harus lebih memberikan
kontrol yang memadai.
Sekolah harus bersinergi mewujudkan tekad bersih dari budaya
mencontek. Karena budaya mencontek adalah penyakit akut menyangkut mentalitas dan
harga diri bangsa yang harus segera dilumpuhkan. Seperti halnya Bentuk kecurangan dalam Ujian Nasional yang
kini semakin merajalela dalam dunia pendidikan.
Ujian Nasional
(UN) merupakan suatu bentuk pemetaan kualitas pendidikan di berbagai daerah di
Indonesia. UN merupakan
komponen kelulusan yang sangat penting. Perlu persiapan yang
matang dalam menghadapinya. Namun bentuk pemetaan kualitas pendidikan tidak
akan tercapai sesuai harapan jika Ujian Nasional dibarengi dengan tindak kecurangan.
Hal ini
membuktikan, bahwa betapa kejujuran menjadi barang langka di dunia
pendidikan kita
Pada tahun 2008, Provinsi Gorontalo mendapatkan nilai UN yang cukup bagus, tetapi begitu
mencanangkan
kejujuran pada tahun berikutnya, hanya 50
persen yang lulus UN. UN memang bukan
satu-satunya penentu kelulusan, namun hasil UN sangat berpengaruh terhadap masa depan
anak-anak bangsa selanjutnya dalam mengenyam pendidikan.
Mewujudkan UN dari hasil kejujuran
tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak hanya berhenti pada
gerakan-gerakan atau ikrar-ikrar semata, tetapi yang justru lebih penting
adalah perlunya membangun sikap kejujuran dan kesadaran sejak dini dalam jiwa
generasi muda maupun para kalangan berpendidikan terkait lainnya.
Salah
satunya dengan upaya menumbuhkan kesadaran yang bermuatan nilai-nilai moral,
bahwa tiada kesuksesan tanpa kerja keras. Bahwa hanya siswa yang
bersungguh-sungguh dapat meraih angka yang baik, hanya dengan belajar dengan
sepenuh hati barulah kelulusan dapat tercapai. Upaya
memperoleh nilai akademis harus ditempuh dengan cara-cara yang bermartabat,
bukan dengan kecurangan.
-
Mental Perokok
Generasi Muda
Merokok memang
merupakan hak asasi setiap
orang sesuai kegemaran dan kebiasaannya. Bagi mereka yang terbiasa merokok ada
kenikmatan tersendiri saat menghisap. Mereka yang
sudah mencandu rokok, ibaratnya lebih baik tidak makan
sehari dari pada tidak merokok. Bibir terasa pahit dan asam ketika tidak merokok.
Soal kesehatan yang semestinya dijaga, dengan cara mengurangi rokok agar tidak
terjangkit penyakit paru-paru atau sesak nafas, sering kali dijawab oleh para
pecandu rokok bahwa “yang tidak merokok juga banyak yang tidak sehat”.
Dalam dunia pendidikan, kepala sekolah dan guru-guru di sekolah selalu
mengingatkan agar tidak ada siswanya yang merokok, sebab merokok berbahaya bagi
kesehatan, merokok berbahaya bagi paru-paru, merokok di sekolah juga tidak etis
berdasarkan norma dan etika pendidikan. Sementara, masih banyak kepala sekolah
yang belum bisa meninggalkan rokoknya ketika di lingkungan sekolah, masih
banyak guru yang merokok sambil mengajar di dalam kelas, di depan
murid-muridnya. Katanya, dengan merokok bisa mendatangkan
aspirasi dan inspirasi.
Merokok memang
tidak dilarang, agama juga tidak secara eksplisit
mengharamkan rokok. Anak-anak muda zaman sekarang
seringkali mencampurkan rokok dengan narkoba, shabu-shabu, ganja dan
obat-obatan terlarang lainnya, yang membuat pengkonsumsi menjadi terlena,
terbius oleh angan-angan, sejenak melupakan kehidupan dunia, terlebih jika
sampai mabuk tak sadarkan diri.
Siswa yang
bermental perokok, biasanya cenderung malas, acuh terhadap pelajaran, angkuh
dalam pergaulan. Kebiasaan merokok di kalangan siswa selama masih dalam status peserta
didik, tergolong perilaku menyimpang yang melanggar peraturan dan termasuk
siswa tak bermoral alias siswa nakal. Mereka yang sudah terlalu kecanduan atau
ketagihan bisa menjadi “mangsa” bagi para penggemar narkoba dan sejenis
obat-obatan terlarang lainnya.
Persoalan merokok di kalangan pelajar sebenarnya sangat dapat di tangani, salah satunya dengan membuka dan
meresmikan Kawasan Tanpa Rokok di sekolah. Hal ini merupakan
komitmen moral masyarakat sekolah, termasuk guru
dan kepala sekolah sebagai pemimpin. Karena pemimpin harus menjadi teladan yang mulia, sebagai
panutan yang patut dihormati.
Sekedar
mencanangkan Kawasan Tanpa Rokok, tidak berarti
mengurangi kesempatan merokok bagi para pecandu atau penggemar rokok. Tetapi marilah
kita dukung program Kawasan Tanpa Rokok, dengan kesadaran yang tinggi. Agar
kesehatan tubuh tetap terjaga.
-
Tawuran Pelajar
Tawuran
merupakan suatu kegiatan perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh
sekelompok atau masyarakat tertentu. Fenomena tawuran di
kalangan pelajar sudah merebak bahkan bisa dikatakan telah menjadi tradisi di
dunia persekolahan. Perilaku tawuran antar pelajar bukan hanya mengganggu ketertiban dan
keamanan umum, kerugian harta benda atau korban cedera sering terjadi, bahkan
ratusan nyawa melayang sia-sia selama sepuluh tahun terakhir hanya karena akibat
peristiwa tawuran.
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Rendahnya
kualitas pribadi dan sosial siswa, mendorong
mereka berprilaku tidak sesuai norma tersebut. Perilaku
menyimpang ini umumnya timbul dari
masalah sepele atau bisa saja disebabkan oleh hal-hal
serius yang menjurus pada tindakan bentrok.
Kekerasan (tawuran) yang melibatkan siswa ini
memperlihatkan bukti semakin merosotnya moral dan
karakter bangsa. Salah satu kiat yang di lakukan pemerintah untuk mencegah tawuran adalah keputusan Kemendikbud yang
akan semakin menekankan pendidikan karakter terhadap anak didik. Pendidikan karakter ini tidak hanya sekedar
teori namun perlu di praktekkan. Pendidikan karakter harus ditanam sejak awal,
agar dapat menjadi bekal hidup di masyarakat.
Kasus tawuran tidak sepenuhnya kesalahan pihak sekolah sebagai lembaga
pendidikan. Kontrol
tidak saja dilakukan oleh pihak sekolah, tetapi
juga orangtua dan lingkungan. Komunikasi antara orangtua dan guru juga harus
ditingkatkan, memantau kegiatan
anak, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Orangtua dan masyarakat ikut berperan dalam
mencegah terjadinya tawuran.
Orang
tua berperan penting untuk memberikan keteladanan pada anak.
Keluarga harus menjadi tempat yang nyaman bagi anak
untuk mencurahkan berbagai permasalahannya. Lingkungan
sekitar pun ikut berperan dalam perkembangan dan pertumbuhan karakter anak.
-
Free Sex
Pergaulan bebas di kalangan remaja, merupakan
realitas sosial yang sekarang ini banyak terjadi dalam masyarakat. Moralitas
siswa atau mahasiswa terkesan rendah. Pendidikan yang diberikan oleh guru,
cenderung bersifat transfer ilmu, daripada bimbingan moral ke arah akhlaq al-karimah.
Pergaulan
bebas tanpa batas yang lebih dikenal generasi muda dengan istilah free sex,
telah menjadi hal yang lumrah di kalangan
pelajar. Para remaja usia sekolah
pada tingkat SD, SMP apalagi SMA melalui tayangan berita
televisi dapat diperlihatkan, bagaimana
masalah free sex hampir menjadi budaya masyarakat.
Anak
usia SD kini telah mengenal
pergaulan sex bebas pada usia yang sangat dini. Ini menjadi masalah serius
bagi dunia pendidikan, apalagi setelah terjadinya pernikahan resmi anak usia
SD, di Nusa
Tenggara Barat. Realita sosial ini
bukan hanya menyakitkan bagi undang-undang perkawinan,
tetapi juga sangat menyakitkan bagi dunia pendidikan.
Free Sex merupakan fakta
sosial, benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata di sekitar kita, ketika anak
usia sekolah banyak melakukan tindakan menyimpang, sehingga mereka yang
seharusnya masih berstatus siswa di sekolah lanjutan, kemudian hamil sebelum
menikah dan tidak melanjutkan sekolah, mereka pun terpaksa harus
menggugurkan kandungan secara sembunyi-sembunyi. Dalam persoalan seperti inilah
umumnya peran guru agama lebih sering dipertanyakan.
Guru agama di
beberapa sekolah tingkat SMP/SMA sederajat, mereka lebih banyak berfikir
ringan, mengajarkan ilmu agama, memberikan tugas mencatat materi pelajaran atau
menghafal ayat-ayat pendek dari al- Qur’an; dari pada mendampingi kegiatan
siswa, memberikan dorongan dalam belajar, mendengarkan keluhan dan curahan
hati, memberikan pelayanan konsultasi berkaitan dengan pertumbuhan dan
tantangan moral yang sedang dialami oleh kebanyakan siswa usia remaja. Walaupun
sebenarnya persoalan seperti konsultasi di khususnya kepada guru bimbingan
konseling. Namun, tidak menutup kemungkinan semua staff guru termasuk guru
agama pun memberikan pelayanan konsultasi kepada siswanya.
Beberapa guru
agama di SMA dan sederajat merasakan betapa beratnya tantangan moralitas,
akibat derasnya arus IPTEK yang semakin global, yang membuat para remaja usia
SMA lebih condong untuk meniru perilaku yang ditayangkan media atau dunia maya tanpa seleksi, dari pada
mempertahankan dan membentengi dirinya.
Beberapa siswa
SMA yang kebetulan berorganisasi di masjid sekolahnya, juga merasakan bahwa
pendidikan agama yang mereka terima baru hanya sekedar formalitas, mengejar
target kurikulum, untuk memenuhi tuntutan administrasi. Pendidikan agama hampir
tidak ada bedanya dengan pelajaran atau bidang studi lainnya. Padahal
pendidikan agama seharusnya lebih mengarah kepada hati nurani untuk
mengembangkan nilai-nilai moralitas.
Maftuh Basuni,
Menteri Agama RI (Tempo, 24 November 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama
yang berlangsung saat ini cenderung mengedepankan aspek kognitif (pemikiran)
dari pada aspek afeksi (perasaan) dan psikomotorik (perilaku/tindakan). Hasil
studi Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, menegaskan bahwa merosotnya
moral dan akhlaq peserta didik, disebabkan oleh kurikulum Pendidikan Agama yang
terlampau padat materinya, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek
pemikiran ketimbang membangun kesadaran hidup beragama secara utuh.
Metodologi
Pendidikan Agama kurang mendorong penghayatan terhadap nilai-nilai agama,
kurang mampu membangun kesadaran hidup beragama serta menciptakan siswa
bermoral. Salah satu pernyataan kritis mengarah pada peran dan tanggung jawab
guru Pendidikan Agama. Adakah materi Pendidikan Agama secara
kurikuler dan explisit yang menegaskan perlunya kesehatan reproduksi bagi siswa
usia remaja yang sedang bergejolak
sexualitasnya ? Bagaimana seharusnya mereka membentengi diri dari gelora
sexualitas yang tinggi ? Sepertinya materi seperti itu perlu di terapkan
di sekolah-sekolah.
-
Kekerasan
Mahasiswa
Kasus STPDN yang pernah mewarnai
dunia pendidikan, merupakan sejarah yang memprihatinkan dalam perkembangan
pendidikan. Perguruan tinggi yang mencetak calon pejabat di lingkungan depdagri
ini di kecam habis-habisan. Masyarakat mengusulkan agar sekolah tinggi tersebut
dihapuskan. Mereka sangat sinis melihat perbuatan yang dilakukan mahasiswa
senior dalam memperlakukan mahasiswa baru dengan cara-cara militerisme.
Apa yang terjadi di STPDN sebetulnya
terjadi juga di berbagai perguruan tinggi lainnya. Seperti di Unhas, ditengah
kegiatan ospek yang diikuti oleh Mahasiswa baru Unhas, belasan mahasiswa baru
tersebut akhirnya dilarikan ke rumah sakit karena cedera dan mengalami patah
tulang. Di UIN Makassar juga dikabarkan ada tiga mahasiswa yang terkena
tikaman. Hal ini tentu menggambarkan
bahwa betapa kampus-kampus yang bernama perguruan tinggi telah karib
dengan kekerasan.
Jika diketahui latar belakang
tindakan “senior” dikampus yang hanya untuk disegani, dihormati, ditakuti, atau
ajang balas dendam agar semua pendatang baru tunduk kepadanya. Maka sudah pasti
perbuatan, tindakan dan cara-cara berpikir itu sudah sangat bertentangan jauh
dari sosok dan kepribadian seorang terpelajar, seorang intelektual, seorang
yang bergaul dalam lingkup dunia ilmiah, dunia mengandalkan otak bukan otot,
dunia mengedepankan akal sehat bukan emosi, dunia yang menjunjung tinggi
kreatifitas bukan kebuntuan.
Jika kita mengamati, kasus tawuran
atau bentrok mahasiswa antar universitas maupun fakultas, pembakaran kampus,
dan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi makin melonjak kuantitasnya.
Seakan pimpinan universitas dan pihak pengelola lainnya tidak mampu mencari
jalan keluar dari masalah yang rutin muncul setiap kali tiba masa penyambutan
mahasiswa baru.
Sesungguhnya hakikat dari sekian
banyak tujuan pendidikan dan cita cita didirikannya perguruan tinggi adalah
memanusiakan manusia, mengangkat harkat manusia sebagai makhluk berbudaya.
Disinilah pentingnya dipahami bahwa setiap perguruan tinggi harus mampu
menghasilkan manusia bermartabat, berbudaya, bermoral, pembaharu, kreatif,
inovatif berdasarkan spesialisasi keilmuan yang ditekuni.
Sebagai generasi muda, kita patut
menyadari bahwa ternyata otak mahasiswa tidak cukup hanya dengan mengisi ilmu
pengetahuan semata, tetapi juga harus mengisi kalbunya dengan ajaran moral,
tatakrama dan budi pekerti. Sehingga setiap perilakunya cenderung kepada
perbaikan dan mampu menghindari kerusakan.
-
Ilmu
Tidak Berkah
Seharusnya Negara Indonesia, sudah
lama terbebas dari keterbelakangan, terlepas dari kesengsaraan, merdeka dari
kebodohan, terbebas dari kemiskinan, terhindar dari perpecahan. karena sebagian
dari masyarakat indonesia sudah pandai membaca dan menulis, mampu berkaca diri,
mampu berteriak, sudah berbudaya. Indonesia telah memiliki banyak ilmuan,
gedung sekolah, taman kanak-kanak, guru teladan, murid teladan, pegawai
teladan, sopir teladan.
Setiap tahun Negara Indonesia pun
menghasilkan puluhan ribu sarjana, ribuan magister, yang lahir tidak hanya dari
dalam negeri tetapi juga pulang mengenyam pendidikan di berbagai belahan dunia.
Indonesia pun memiliki banyak doktor dan professor, hal itu tentu saja tidak
menutup kemungkinan bahwa seharusnya negeri ini sudah menjadi bangsa yang
besar.
Seharusnya Indonesia, semakin
makmur, aman, sejahtera dan sentosa. Karena semakin banyak orang-orang pintar,
ilmuan yang ahli di bidang teknologi, kesehatan, pertanian, ekonomi, hukum,
ilmu agama, politik dan keamanan semakin hari semakin bertambah jumlahnya,
semakin berganti waktu semakin bertambah luas pengetahuannya. Hal ini seharusnya
telah menjadikan bangsa indonesia sebagai bangsa yang kuat, semakin bersatu,
semakin padu dan semakin mencintai negerinya.
Namun pada kenyataannya, bangsa
Indonesia saat ini tenggelam dalam pertikaian tiada akhir, tenggelam dalam
perpecahan yang berkepanjangan. Kemanakah semua ilmu-ilmu yang telah dimiliki
mereka yang mengenyam pendidikan ? ilmu yang seharusnya membawa manfaat bagi
kehidupan manusia secara fisik dan rohani. Atau barangkali ilmu-ilmu yang dimiliki
itu tidak membawa manfaat. Ilmu yang seharusnya makin menjernihkan hati untuk
mengenal diri sebagai manusia, kenyataannya tidak memberi manfaat, tidak membawa
berkah bagi kehidupan negeri.
Maka, saatnya bagi masyarakat
Indonesia melakukan perenungan-perenungan tentang gerak akal dan gerak hati,
apakah ilmu-ilmu tersebut memang tidak bermanfaat, ataukah salah pemanfaatan,
karena mungkin niat yang digunakan juga salah ketika menuntut ilmu di bangku
sekolah. Apakah benar ketika menuntut ilmu, untuk memakmurkan bumi dan
membebaskan diri dari api neraka, dalam arti kita menuntutnya semata-mata
karena rasa pengabdian kepada Tuhan. Ataukah memang menuntutnya untuk
memperkaya diri, untuk menyalahkan orang lain, untuk berkuasa, untuk memfitnah
orang lain, untuk mementingkan kelompok dan golongan sendiri.
Para generasi muda, sudah
sepatutunya menyucikan kembali akal, mata, dan hati. Menyucikan kembali
Pendengaran, penciuman, mulut, perut dan tangan. Begitupun setiap langkah yang
diambil. Sehingga hati para generasi muda betul-betul siap untuk menerima
berkah dari ilmu yang selama ini terhalang oleh kotoran-kotoran dosa yang tanpa
sengaja atau memang sengaja dilakukan.
C.
Pendidikan Moral-Pendidikan Karakter
-
Pendidikan Moral
Pendidikan
moral merupakan dasar dari sebuah pendidikan karakter. Pendidikan
moral mestinya memberikan kepada anak didik yang sedang dalam proses
pertumbuhan moral sebuah pengalaman strukturisasi diri yang mendalam. sehingga
terbentuklah keseimbangan moral.
Keseimbangan
pertumbuhan seseorang ditentukan oleh kemampuannya untuk menghayati hidup
bermoral sesuai dengan tahap perkembangan pribadinya. Pendidikan
moral mengutamakan sebuah usaha dari individu untuk
semakin membentuk dirinya sendiri dan mengafirmasi dirinya sendiri,
sehingga ia dapat di sebut sebagai pribadi yang bermoral.
Pendidikan
moral dan pendidikan karakter memiliki persamaan karena menerapkan
nilai kebebasan sebagai bagian dari kinerja individu untuk menyempurnakan
dirinya sendiri, berdasarkan tata nilai moral yang semakin mendalam dan bermutu. Yang membedakan antara pendidikan moral dan pendidikan karakter
adalah ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil
keputusan.
Dalam
pendidikan moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang. Keputusan
inilah yang menentukan proses pendefinisian dirinya sendiri apakah ia sebagai
manusia menjadi
manusia yang baik atau buruk. Pendidikan moral
berkaitan dengan keputusan bebas seseorang sesuai kesadaran nuraninya.
Pendidikan
karakter, ruang lingkup pengambilan keputusan terdapat dalam diri individu
namun keputusan dalam lembaga pendidikan melibatkan struktur dan relasi
kekuasaan. Oleh karena itu, pendidikan karakter selain bertujuan menegakkan
kemartabatan pribadi sebagai individu, ia juga memiliki konsekuensi kelembagaan (sekolah),
yang keputusannya tampil dalam kinerja dan kebijakan lembaga pendidikan.
Terhadap
keyakinan moral, keyakinan agama bersifat suportif. Keyakinan
agama seseorang membantunya dalam menghayati nilai-nilai moral. Nilai-nilai
agama mempertegas dan memperkokoh keyakinan moral seseorang dengan memberinya
dasar yang lebih kokoh dan tak tergoyahkan. Ada
nilai-nilai agama yang sekaligus memliki kualitas nilai moral. Namun
tidak semua nilai yang diyakini oleh agama tertentu memiliki kandungan nilai
moral.
-
Pendidikan
Karakter
Pendidikan selalu berkaitan dengan proses pembentukan
manusia-manusia muda. Karakter merupakan struktur antropologis manusia, dimana manusia
menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Pendidikan
senantiasa berkaitan dengan dimensi sosialitas manusia.
Pendidikan karakter
merupakan sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dalam
menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Ada dua
paradigma dalam pendidikan karakter, yang pertama memandang pendidikan karakter
dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit. Yang kedua melihat
pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas,
terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikanitu sendiri.
Pendidikan karakter yang terutama dinilai adalah perilaku bukan
pemahaman. Pendidikan karakter terutama ditujukan pada pemeliharaan jiwa. Jiwa
merupakan suatu hal yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya.
Didalam jiwanya inilah kita memilih kegiatan berpikir, bertindak, dan
menegaskan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Sokrates
memberikan visi baru tentang kemanusiaan. “kenalilah
dirimu sendiri” karena manusia adalah jiwanya, bukan
kemampuan berbicara didepan umum.
Pendidikan karakter memerlukan basis
kepercayaan yang mendalam, bahwa manusia berkembang bukan hanya memenuhi
kodratnya dalam kehidupan bersama masyaarakat, melainkan manusia mampu mengubah
dunia sesuai dengan nilai-nilai yang di yakininya, sebab nilai –nilai itulah
yang menjadi sumber pembaharu kehidupan masyarakat.
1.
Pendidikan karakter di sekolah
Di Sekolah-sekolah
disekitar kita,
banyak fenomena perilaku tidak adil dan kekerasan, baik karena
intervensi dari pihak luar maupun dari kalangan insan pendidikan sendiri.
Akibatnya para siswa, guru, dan masyarakat menjadi korban.
Ada guru yang diteror aparat keamanan dan dikecam pemerinatah
karena bersikukuh mempertahankan sekolahnya yang akan di gusur demi sebuah
program bisnis. Ada para murid sekolah yang
menjadi korban kekerasan dan kejahatan, entah karena
konflik politik maupun karena perilaku kriminal biasa,
melalui pembunuhan maupun pemerkosaan. Bahkan ada
guru yang melecehkan anak didiknya secara seksual. Sekolah
yang semestinya memberikan harapan dan optimisme malah menjadikan anak didik
kita trauma dan putus harapan.
Berbagai masalah seakan-seakan tidak berhenti
di satu topik. Ada seorang
anak SD sampai bunuh diri karena merasa malu belum melunasi pembayaran buku
pelajaran. Ditempat lain kita temukan sepasang remaja yang tega membuang bayi
akibat hubungan gelap yang mereka lakukan. Belum lagi membaca berita seputer
maraknya tawuran pelajar. Yang terakhir adalah siswa korban smack down yang
jiwanya melayang sia-sia karena permainan dan tontonan kekerasan yang disuguhkan televisi
pada masyarakat kita.
Namun kita juga tidak serta merta
menuduh bahwa lembaga pendidikan menjadi satu-satunya penyebab demoralisasi
dalam masyarakat kita. Inilah salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern
yang di sinyalir oleh Jacques Maritain. Karena sekolah telah
lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial yang memiliki fokus terutama
pada pengembangan intelektual dan moral bagi siswanya.
Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh
penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses
perbaikan dalam masyarakat kita. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama
agar pendidikan karakter segara dilaksanakan dalam lembaga pendidikan kita.
Tetapi pada kenyataannya pendidikan karakter nampaknya pelan-pelan semakin
hilang dan tampaknya kurang begitu mendapatkan perhatian yang serius dari
kalangan pendidik. Mengapa pendidikan karakter sekarang ini mulai mengalami
kemunduran ?
Apakah karena memang lembaga pendiidikan kita
telah kehilangan visi, terlalu sibuk dengan program jangka pendek, terlalu terbebani
tugas-tugas administratif sehingga lena dan lalai untuk meningkatkan peran
penting pendidikan karakter yang memiliki tujuan jangka panjang dan hasilnya
tidak secara langsung dapat dirasakan ? Ataukah
ada alasan-alasan lain mengapa pendidikan karakter itu tidak mendapatkan
respon yang memadai di kalangan para pendidik, para pengambil kebijakan
pemerintahan, dan masyarakat.
2.
Pendidikan Karakter di Keluarga
Keluarga
merupakan tempat pembentukan anak yang utama, terlebih pada masa-masa awal
pertumbuhan mereka sebagai manusia. Dalam hal ini
keluarga memilki investasi afeksi yang tidak dapat digantikan oleh peranan lembaga
lain di luar keluarga, seperti sekolah, lembaga agama, dan masyarakat.
Keluaraga
merupakan sebuah tempat anak-anak menerima pendidikan nilai. Singkatnya,
anak banyak belajar dari cara bertindak dan cara berpikir
orang tua. Orang tua yang menjadi tempat pertama pembentukan karakter anak. Tetapi
tidak jarang bahwa anak justru memperoleh pendidikan yang kurang baik di dalam
keluarga sehingga proses penanaman nilai ini tidak terjadi dalam keluarga. Dalam
kehidupan keluarga modern misalnya, situasi
pendidikan anak bisa menjadi sangat problematis mengingat bahwa orang tua
modern memiliki alokasi waktu yang sempit dalam menjaga dan menemani anak
mereka dirumah.
3.
Pendidikan Karakter di Masyarakat
Pendidikan
karakter disekolah mesti melibatkan masyarakat sekitar, atau masyarakat lokal
sehingga pendidikan karakter bertumbuh disebuah lahan yang realistis. Pendidikan
karakter dalam hal ini bukan sekedar memaknai masyarakat sebagai tempat di mana
pada akhirnya pendidikan karakter itu
mestinya hadir, namun juga menjadi sarana pedagogis bagi masyarakat di
luar sehingga mereka pun menjadi satu bahu membahu menyuburkan perilaku dan
tata nilai yang berguna bagi tatanan masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, progaram pendidikan karakter
apapun tidak dapat melepaskan diri dari tatanan dan sistem nilai di dalam
masyarakat lokal yang menjadi sumber pembudaya bagi program pendidikan karakter
di sekolah.
Dalam
kerja sama dengan media, pendidikan karakter membutuhkan bantuan media untuk
menyebarkan gagasan dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam diri anak-anak
disekolah. media massa memiliki fungsi yang sangat strategis sebagai sarana nilai-nilai moral dan karakter.
Pendidikan karakter akan menuai hasil yang
lebih baik, bukan hanya tertanamnya nilai-nilai itu dalam diri para siswa,
melainkan menjadi satu gerakan bersama dalam masyarakat. Pendidikan karakter
mestinya merupakan sebuah keprihatinan bersama seluruh bangsa, dan karena itu,
negara yang memiliki aparatur di bidang pendidikan semestinya memanfaatkan
kewenangan yang dimilikinya untuk mengembangkan pendidikan karakter.
Yang
kita butuhkan adalah kehadiran negarawan dan wakil rakyat yang peka dan cinta akan
negara, sehingga dalam dunia politik mereka,
mereka memiliki kehendak politik terutama untuk mengutamakan kepentingan
rakyat.
Jika anggaran bagi pendidikan masih terasa
kecil, mungkin karena alasan krisis ekonomi, atau karena kesalahan keputusan politik
yang dilakukakn pemerintah sebelumnya, para negarawan ini sesungguhnya tetap
memiliki fungsi edukatif yang membantu pembentukan pendidikan karakter bagi
warga negaranya, yaitu , dengan memberikan teladan moral sebagai seorang
negarawan sejati.
Kesimpulan
Pesatnya
kemajuan teknologi dan komunikasi membuat individu tidak dapat menolak
kenyataan bahwa sekarang kita hidup dalam sebuah dunia dimana realsi antara
indvidu dan lembaga bisa memiliki jangkauan yang mengatasi batas-batas Negara. Apa yang dilakukan seorang individu dapat
mempengaruhi tata kehidupan bersama dalam masyarakat global, dalam arti positif
maupun negatif
Menjadi
pemuda indonesia memang berat ditambah lagi dengan beban sejarah generasi
pendahulu. Secara psikologis pemuda itu serba tanggung: matang belum,
kanak-kanak sudah lewat. Secara demografi,
Pemuda merupakan elemen demografis yang masih minta diurus, mereka belum
mandiri, belum berproduksi. Pemuda, masih lebih sering dipandang sebagai
“beban” nasional. Oleh karena itu, secara politisi kita bicara tentang perlunya
pemuda dibina.
Para
generasi muda sepatutnya harus mampu membentengi diri dari berbagai tantangan
zaman dengan berbagai problem moralitas. Para generasi muda pun tetap harus
mendapatkan pembinaan dari ruang lingkup keluarga, masyarakat dan lembaga
pendidikan, karena pendidikan adalah lahan paling utama untuk para generasi muda
meneruskan perjuangan bangsa. Menjadikan bangsa yang berkarakter, bermoral dan
berkepribadian.
Ketika
masih mahasiswa di bandung, Bung Karno kabarnya pernah menulis, “Dikamar sempit
ini nasib bangsa di tentukan”. Secara tidak langsung tulisan itu bermakna bahwa
nasib bangsa di tentukan oleh para pemuda. Para pemuda harus mempunyai ambisi
dan impian yang kuat untuk maju. Karena pada dasarnya
manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi. Paulo freire menganggap
bahwa mimpi memiliki peran penting yang sangat strategis bagi proses pertumbuhan personal dan sosial.
generasi muda mesti mempertahankan yang baik dan tidak
merusak yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya. Perbuatan baik sekecil
apapun yang dilakukan akan memberikan sumbangan besar bagi perubahan dan
kebaikan dunia. Mengubah dunia di mulai dari diri sendiri itulah awal setiap
pendidikan karakter
DAFTAR
PUSTAKA
Jurlan H. M, Cendekiawan & Penguasa:
Esai-esai Masalah Pendidikan, Agama, Sosial dan Budaya, elSAS: Jakarta,
2007
Koesoema A. Doni, Pendidikan
Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Grasindo: Jakarta, 2010
Shomali. Mohamad A,
Relativisme Etika, PT.Serambi Ilmu Semesta: Jakarta, 2001
Sobari Muhammad, Moralitas
Kaum Pinggiran, Mizan: bandung, 1995
Sunarto, Televisi, Kekerasan,
dan Perempuan, PT.Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2009
Tony D. Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia, PT.Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar