Minggu, 28 April 2013

Moralitas dan Budaya Generasi Muda dalam Pendidikan Karakter di Zaman Global

oleh Nurul Ro'fah

A.    Pengertian Moralitas
Moralitas terutama membahas tentang apakah kita sebagai manusia merupakan manusia yang baik atau buruk. Moralitas melihat bagaimana manusia yang satu mesti memperlakukan manusia yang lain. Moralitas merupakan pemahaman nilai dan norma yang menjadi pegangan seorang individu dan komunitas agar kebebasan dan keunikan masing-masing individu tidak dilanggar sehingga mereka semakin menghargai kemartabatan masing-masing.
Secara umum moralitas membahas tentang bagaimana individu memperlakukan orang atau hal-hal lain secara baik sehingga menjadi cara bertindak , terutama bagi pribadi dan komunitas. Ada beberapa konsep moral berdasarkan analisis diantaranya sebagai berikut ;
1.      “baik” dan “buruk”.
2.      “benar” dan “salah”.
3.      “harus” dan “tidak harus”.

B.     Masalah Moralitas
1.      Kekerasan Terhadap Wanita                                                                                        
Di indonesia, kekerasan menunjukkan peningkatan yang cukup melesat. Khususnya mulai dari kekerasan terhadap wanita, remaja, anak-anak atau bahkan terhadap bayi sekalipun yang masih suci dan belum mengetahui warna-warni kehidupan. Pelaku kekerasan umumnya beragam mulai dari tingkat dewasa, remaja bahkan anak-anak.
Namun yang paling berperan dalam pelaku tindak kekerasan adalah orang dewasa.   Mengapa orang dewasa melakukan tindak kekerasan, padahal mereka mengetahui tindak kekerasan tidak sesuai dengan pancasila? Bukankan orang dewasa dulu juga pernah mengenyam pendidikan sekolah ? dan belajar tentang pendidikan moral pancasila.
Tak jarang yang menjadi korban kekerasan adalah para remaja. Khususnya wanita, ada seorang anak yang mengalami kekerasan dari ayah tiri ataupun ayah kandungnya. Bahkan untuk menyempurnakan tindakannya, tidak segan-segan seorang ayah mencabuli anaknya yang masih remaja setelah melakukan tindakan kekerasan.
Dalam tragedi lainnya, kekerasan di gencarkan oleh sekumpalan laki-laki berjumlah 7 orang mencabuli seorang gadis yang masih duduk di bangku sekolah. Para pelaku melakukan tindakannya di sebuah kebun bahkan rumah kosong. Mereka melakukan tindakan bejat tersebut secara bergantian. Ini adalah realita yang sangat menyakitkan. Para wanita harus lebih berhati-hati untuk mencegah segala bentuk penyimpangan yang terjadi dan khususnya bagi para orang tua untuk lebih menjaga anak-anaknya agar tidak menimbulkan kejadian yang tidak di inginkan. 
Kekerasan terhadapa wanita mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Di mulai dari KDRT, pemerkosaan, dan pelecehan seksual hingga tak jarang berujung pada pembunuhan. Padahal keberadaan Perempuan  sangat berperan penting terhadap kemajuan suatu bangsa. Hak-haknya pun dilindungi dalam undang-undang.
Perempuan semestinya mendapat hak yang setara memaksimalkan kemampuan serta peluang di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, hingga politik. Perempuan tidak selayaknya mendapatkan penindasan dan kekerasan. Dalam harian republika, Komisi X DPR Inggrid Kansil mengemukakan bahwa, "Pemberdayaan perempuan masih perlu terus ditingkatkan," Jumat, (26/4).
Kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita saat ini. Kekerasan secara tidak langsung adalah hasil ulah manusia sendiri. Seperti elemen-elemen lain, tanpa di sadari kekerasan hadir di tengah kita melalui suatu proses pembudayaan. Dan proses pembudayaan umumnya berawal melalui media-media.

2.      Media ditengah Generasi Muda
Media adalah salah satu yang paling banyak dikonsumsi anak-anak. Egoisnya, terkadang sebagian masyarakat tidak menyadari bahwa selain dirinya, ada juga anak-anak yang belum layak ikut menonton film-film yang hanya mengekspos kekejaman dan kekerasan. Manusia telah begitu terjerat oleh uang, dan tidak peduli. Mereka memproduksi atau mengimpor film-film dengan warna kekerasan tadi, lembaga resmi yang bertugas menyensor pun tidak melakukannya.
Di indonesia, seperti halnya Film “Virgin”, sangat menggambarkan gejolak kehidupan remaja di negeri ini. “Virgin” mengangkat realitas remaja yang sengaja atau tidak, terjebak dalam kehidupan materialis, mengejar kesenangan semu lewat jalan pintas, melacurkan diri hanya untuk memiliki sesuatu yang diinginkan, sebagaimana yang di miliki teman-teman gaulnya yang lain.
Dari sisi pemilihan naskah/cerita, sebetulnya film ini cukup berhasil merekam realitas masyarakat yang berada di kota metropolitan. Produser film ini secara tidak langsung memberitahu masyarakat tentang perkembangan gaya hidup remaja di kota-kota. Perkembangan gaya hidup yang mesti diprihatini, Memiliki pesan moral bagi para orang tua agar tidak lagi sibuk mengurus dirinya, melainkan harus mewaspadai pergaulan anaknya juga.
Namun di sisi lain, film ini mendapat protesan keras dari masyarakat. Film ini di nilai sangat tidak wajar untuk ditonton oleh remaja. Ada kekhawatiran remaja akan menyontoh dan menjadikan panutan hingga selanjutnya menjadikan sebagai “gaya hidup” untuk mengekspresikan diri sebagai anak gaul. Tidak semua remaja dapat mengambil manfaat positif dari film tersebut.
Terkadang film bermaksud memberi pemahaman kepada penonton (khususnya remaja yang masih berproses dalam pencarian jati diri) agar tidak mengikuti gaya gaul tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam sebuah film. Namun, justru sebaliknya. Film tersebut menjadi trend baru dalam pergaulan sehari-hari.
Seperti halnya televisi, media ini lebih sering dikonsumsi oleh anak-anak. Hendaknya media televisi membebaskan dirinya dari bentuk kekerasan secara umum maupun kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Hal ini disebabkan media anak khususnya televisi, merupakan salah satu media penting bagi anak-anak dalam proses penyerapan (internalisasi) nilai-nilai sosial tertentu di masyarakat.
Media televisi selayaknya menayangkan berbagai tayangan yang menjurus kepada pengetahuan dan nilai-nilai edukasi dalam waktu tayang tertentu, disaat waktu yang memungkinkan untuk anak-anak menonton televisi. Selain dalam dunia media, kekerasan dan kejahatan pun semakin merajalela dalam kehidupan nyata.
Tragedi copet dan pembunuhan misalnya, adalah salah satu tindakan yang kemungkinan terinspirasi dari berbagai tayangan film-film atau sinetron televisi yang beredar di masyarakat. Perlunya pengolahan kembali dalam individu masing masing setelah menonton tayangan film-film yang mengandung kekerasan dan kekejaman, jangan sampai menyebabkan perilaku penyimpangan moral yang terserap di otak masyarakat khususnya generasi kedepan. Dalam hal ini, pendidikan rohani dan pendidikan moral ataupun karakter perlu di tekankan kembali dalam keluarga sebagai benteng utama dan lingkungan sekitar.

3.      Pengemis dan Pengamen
Pengemis dan Pengamen yang berkeliaran menjadi hiasan kota-kota dianggap suatu hal yang biasa. Kedua profesi tersebut merupakan potret kemerosotan moral bangsa. Mereka yang berprofesi sebagai pengemis sebenarnya bisa menghasilkan uang dengan cara yang lebih baik dan halal. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya. Dalam agama islam profesi meminta-minta(mengemis) tidak disukai Allah, begitupun dengan agama lain.
Pengemis yang berkeliaran di kota-kota atau tempat umum adalah suatu bukti betapa sulitnya lapangan pekerjaan dan sikap malas masyarakat dalam bekerja dan mencari pekerjaan. Profesi pengemis seolah-olah menjadi pekerjaan sektor informal baru. Di antara mereka ada yang dipekerjakan oleh orang-orang tertentu, bahkan orang tua mereka sendiri.
Saat ini marak profesi pengemis(minta-minta) yang di lakukan oleh para pemuda dengan cara baru. Mereka tidak menampakan sikap perlu dikasihani, tetapi tindakan mereka lebih kepada perilaku premanisme. Menatap para penumpang bus kota atau angkutan umum dengan tatapan tajam seolah-olah memaksa, sehingga membuat sebagian para penumpang takut dan memilih merelakan uang dengan cara yang tidak ikhlas (terpaksa).
 sebagian dari mereka bahkan ada yang sempoyongan memegang rokok dan menadahkan tangan untuk meminta uang, kemungkinan mereka mabuk atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Mereka berorasi demi sebungkus nasi, dari pada saya mencopet ujarnya. Mereka pikir cara seperti itulah yang paling baik bagi mereka.
Seperti halnya pengemis, pengamen pun nampaknya telah menjadi jenis pekerjaan sektor informal baru yang dulunya hanya dilakukan oleh kaum waria (bencong). Tiba-tiba tempat para bencong itu digusur oleh para pemuda lulusan Sekolah Menengah atau bahkan sekolah dasar. Jika para bencong dulu mengamen hanya terutama di rumah-rumah penduduk, di dalam gang-gang. Saat ini para pemuda menyerang pendengarnya di atas bus-bus umum dan kereta ekonomi.                                                                          
Para bencong mengamen dengan kesan malu-malu, pemuda saat ini mengamen dengan memperlihatkan sikap bangga, dengan alasan Iwan Fals, “penyanyi itu, pun dulunya pengamen juga”. Para bencong mengamen demi seratus-dua ratus rupiah, para pemuda umumnya bilang mengamen hanya sebagai penyaluran bakat seni, sebagai batu loncatan menjadi penyanyi dan merekam lagu-lagunya.
Setiap orang bebas membuat alasan yang masuk akal. Setiap orang pun bebas untuk lari dari kenyataan. Tapi mungkin yang lebih baik adalah realistis menerima kenyataan, bahwa zaman sekarang mencari pekerjaan susah dan yang bisa mereka lakukan baru itu (mengamen).
Banyak masyarakat menaruh simpati yang dalam pada nasib para pengamen. Mereka adalah pemuda yang serba tanggung, membiarkan diri menganggur tidak bisa. Karena pada kenyataannya mereka memiliki ijazah SD/SMP/SMA, masuk perguruan tinggi tidak bisa, karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, dan ingin bekerja saingannya para sarjana. Tetapi tindakan mereka ngamen di atas bus umum dan kereta ekonomi disepanjang jalan, sebenarnya sangat mengganggu.
Pengamen sebaiknya kerja berkelompok. Menggelar pentas di tempat-tempat umum, memukul bunyi-bunyian untuk mengundang sedikitnya tiga puluhan orang, baru kemudian memulai pertunjukan. Dalam hal ini para pendatang jelas akan suka rela, rela mendengar musiknya karena suka, dan rela memberikan seratus-dua ratus karena merasa ada semacam kewajiban sosial, bukan karena terpaksa atau kasihan, seperti halnya yang mereka lakukan di bus-bus umum dan kereta ekonomi.

4.    Generasi Muda dalam Lingkungan Pendidikan
-          Budaya Mencontek dan Kecurangan
Mencontek adalah awal dari ketidakjujuran, ketidakpercayaan diri, ketidakmampuan diri, paranoid berlebihan akan sebuah kegagalan. Mencontek merupakan kebiasaan buruk yang sudah menjadi budaya. Budaya mencontek adalah perilaku deviatif taraf awal yang mengarah pada terbentuknya karakter korup. Budaya mencontek merupakan salah satu bentuk penyimpangan primer yang lazim dilakukan oleh para siswa.
Para siswa yang terbiasa melakukan kebiasaan mencontek. Memulainya dari  skala terkecil, yaitu saat mengerjakan tugas, saat ulangan harian atau ulangan semester dan akhirnya sampai pada skala besar, yaitu Ujian Nasional (UN).  Pihak sekolah harus  lebih tegas dan berani mengatakan ‘tidak’ pada kegiatan-kegiatan mencontek. Pihak sekolah dan staff guru harus lebih memberikan kontrol yang memadai.
Sekolah harus bersinergi mewujudkan tekad bersih dari budaya mencontek. Karena budaya mencontek adalah penyakit akut menyangkut mentalitas dan harga diri bangsa yang harus segera dilumpuhkan. Seperti halnya Bentuk kecurangan dalam Ujian Nasional yang kini semakin merajalela dalam dunia pendidikan.
Ujian Nasional (UN) merupakan suatu bentuk pemetaan kualitas pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. UN merupakan komponen kelulusan yang sangat penting. Perlu persiapan yang matang dalam menghadapinya. Namun bentuk pemetaan kualitas pendidikan tidak akan tercapai sesuai harapan jika Ujian Nasional dibarengi dengan tindak kecurangan. Hal ini membuktikan, bahwa betapa kejujuran menjadi barang langka di dunia pendidikan kita
Pada tahun 2008, Provinsi Gorontalo mendapatkan nilai UN yang cukup bagus, tetapi begitu mencanangkan kejujuran pada tahun berikutnya, hanya 50 persen yang lulus UN. UN memang bukan satu-satunya penentu kelulusan, namun hasil UN sangat berpengaruh terhadap masa depan anak-anak bangsa selanjutnya dalam mengenyam pendidikan.
Mewujudkan UN dari hasil kejujuran tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak hanya berhenti pada gerakan-gerakan atau ikrar-ikrar semata, tetapi yang justru lebih penting adalah perlunya membangun sikap kejujuran dan kesadaran sejak dini dalam jiwa generasi muda maupun para kalangan berpendidikan terkait lainnya.
Salah satunya dengan upaya menumbuhkan kesadaran yang bermuatan nilai-nilai moral, bahwa tiada kesuksesan tanpa kerja keras. Bahwa hanya siswa yang bersungguh-sungguh dapat meraih angka yang baik, hanya dengan belajar dengan sepenuh hati barulah kelulusan dapat tercapai. Upaya memperoleh nilai akademis harus ditempuh dengan cara-cara yang bermartabat, bukan dengan kecurangan.

-          Mental Perokok Generasi Muda
Merokok memang merupakan hak asasi setiap orang sesuai kegemaran dan kebiasaannya. Bagi mereka yang terbiasa merokok ada kenikmatan tersendiri saat menghisap. Mereka yang sudah mencandu rokok, ibaratnya lebih baik tidak makan sehari dari pada tidak merokok. Bibir terasa pahit dan asam ketika tidak merokok. Soal kesehatan yang semestinya dijaga, dengan cara mengurangi rokok agar tidak terjangkit penyakit paru-paru atau sesak nafas, sering kali dijawab oleh para pecandu rokok bahwa “yang tidak merokok juga banyak yang tidak sehat”.
Dalam dunia pendidikan, kepala sekolah dan guru-guru di sekolah selalu mengingatkan agar tidak ada siswanya yang merokok, sebab merokok berbahaya bagi kesehatan, merokok berbahaya bagi paru-paru, merokok di sekolah juga tidak etis berdasarkan norma dan etika pendidikan. Sementara, masih banyak kepala sekolah yang belum bisa meninggalkan rokoknya ketika di lingkungan sekolah, masih banyak guru yang merokok sambil mengajar di dalam kelas, di depan murid-muridnya. Katanya, dengan merokok bisa mendatangkan aspirasi dan inspirasi.
Merokok memang tidak dilarang, agama juga tidak secara eksplisit mengharamkan rokok. Anak-anak muda zaman sekarang seringkali mencampurkan rokok dengan narkoba, shabu-shabu, ganja dan obat-obatan terlarang lainnya, yang membuat pengkonsumsi menjadi terlena, terbius oleh angan-angan, sejenak melupakan kehidupan dunia, terlebih jika sampai mabuk tak sadarkan diri.
Siswa yang bermental perokok, biasanya cenderung malas, acuh terhadap pelajaran, angkuh dalam pergaulan. Kebiasaan merokok di kalangan siswa selama masih dalam status peserta didik, tergolong perilaku menyimpang yang melanggar peraturan dan termasuk siswa tak bermoral alias siswa nakal. Mereka yang sudah terlalu kecanduan atau ketagihan bisa menjadi “mangsa” bagi para penggemar narkoba dan sejenis obat-obatan terlarang lainnya.
Persoalan merokok di kalangan pelajar sebenarnya sangat dapat di tangani, salah satunya dengan membuka dan meresmikan Kawasan Tanpa Rokok di sekolah. Hal ini merupakan komitmen moral masyarakat sekolah, termasuk guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin. Karena pemimpin harus menjadi teladan yang mulia, sebagai panutan yang patut dihormati.
Sekedar mencanangkan Kawasan Tanpa Rokok, tidak berarti mengurangi kesempatan merokok bagi para pecandu atau penggemar rokok. Tetapi marilah kita dukung program Kawasan Tanpa Rokok, dengan kesadaran yang tinggi. Agar kesehatan tubuh tetap terjaga.

-          Tawuran Pelajar
Tawuran merupakan suatu kegiatan perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau masyarakat tertentu. Fenomena tawuran di kalangan pelajar sudah merebak bahkan bisa dikatakan telah menjadi tradisi di dunia persekolahan. Perilaku tawuran antar pelajar bukan hanya mengganggu ketertiban dan keamanan umum, kerugian harta benda atau korban cedera sering terjadi, bahkan ratusan nyawa melayang sia-sia selama sepuluh tahun terakhir hanya karena akibat peristiwa tawuran.
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa, mendorong mereka berprilaku tidak sesuai norma tersebut. Perilaku menyimpang ini umumnya timbul dari masalah sepele atau bisa saja disebabkan oleh hal-hal serius yang menjurus pada tindakan bentrok.
Kekerasan (tawuran) yang melibatkan siswa ini memperlihatkan bukti semakin merosotnya moral dan karakter bangsa. Salah satu kiat yang di lakukan pemerintah untuk mencegah tawuran adalah keputusan Kemendikbud yang akan semakin menekankan pendidikan karakter terhadap anak didik. Pendidikan karakter ini tidak hanya sekedar teori namun perlu di praktekkan. Pendidikan karakter harus ditanam sejak awal, agar dapat menjadi bekal hidup di masyarakat.
Kasus tawuran tidak sepenuhnya kesalahan pihak sekolah sebagai lembaga pendidikan. Kontrol tidak saja dilakukan oleh pihak sekolah, tetapi juga orangtua dan lingkungan. Komunikasi antara orangtua dan guru juga harus ditingkatkan, memantau kegiatan anak, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Orangtua dan masyarakat ikut berperan dalam mencegah terjadinya tawuran.
Orang tua berperan penting untuk memberikan keteladanan pada anak. Keluarga harus menjadi tempat yang nyaman bagi anak untuk mencurahkan berbagai permasalahannya. Lingkungan sekitar pun ikut berperan dalam perkembangan dan pertumbuhan karakter anak.

-          Free Sex
Pergaulan bebas di kalangan remaja, merupakan realitas sosial yang sekarang ini banyak terjadi dalam masyarakat. Moralitas siswa atau mahasiswa terkesan rendah. Pendidikan yang diberikan oleh guru, cenderung bersifat transfer ilmu, daripada bimbingan moral ke arah akhlaq al-karimah.
Pergaulan bebas tanpa batas yang lebih dikenal generasi muda dengan istilah free sex, telah menjadi hal yang lumrah di kalangan pelajar. Para remaja usia sekolah pada tingkat SD, SMP apalagi SMA melalui tayangan berita televisi dapat diperlihatkan, bagaimana masalah free sex hampir menjadi budaya masyarakat.
Anak usia SD kini telah mengenal pergaulan sex bebas pada usia yang sangat dini. Ini menjadi masalah serius bagi dunia pendidikan, apalagi setelah terjadinya pernikahan resmi anak usia SD, di Nusa Tenggara Barat. Realita sosial ini bukan hanya menyakitkan bagi undang-undang perkawinan, tetapi juga sangat menyakitkan bagi dunia pendidikan.
Free Sex merupakan fakta sosial, benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata di sekitar kita, ketika anak usia sekolah banyak melakukan tindakan menyimpang, sehingga mereka yang seharusnya masih berstatus siswa di sekolah lanjutan, kemudian hamil sebelum menikah  dan tidak melanjutkan sekolah, mereka pun terpaksa harus menggugurkan kandungan secara sembunyi-sembunyi. Dalam persoalan seperti inilah umumnya peran guru agama lebih sering dipertanyakan.
Guru agama di beberapa sekolah tingkat SMP/SMA sederajat, mereka lebih banyak berfikir ringan, mengajarkan ilmu agama, memberikan tugas mencatat materi pelajaran atau menghafal ayat-ayat pendek dari al- Qur’an; dari pada mendampingi kegiatan siswa, memberikan dorongan dalam belajar, mendengarkan keluhan dan curahan hati, memberikan pelayanan konsultasi berkaitan dengan pertumbuhan dan tantangan moral yang sedang dialami oleh kebanyakan siswa usia remaja. Walaupun sebenarnya persoalan seperti konsultasi di khususnya kepada guru bimbingan konseling. Namun, tidak menutup kemungkinan semua staff guru termasuk guru agama pun memberikan pelayanan konsultasi kepada siswanya.
Beberapa guru agama di SMA dan sederajat merasakan betapa beratnya tantangan moralitas, akibat derasnya arus IPTEK yang semakin global, yang membuat para remaja usia SMA lebih condong untuk meniru perilaku yang ditayangkan media atau dunia maya tanpa seleksi, dari pada mempertahankan dan membentengi dirinya.
Beberapa siswa SMA yang kebetulan berorganisasi di masjid sekolahnya, juga merasakan bahwa pendidikan agama yang mereka terima baru hanya sekedar formalitas, mengejar target kurikulum, untuk memenuhi tuntutan administrasi. Pendidikan agama hampir tidak ada bedanya dengan pelajaran atau bidang studi lainnya. Padahal pendidikan agama seharusnya lebih mengarah kepada hati nurani untuk mengembangkan nilai-nilai moralitas.
Maftuh Basuni, Menteri Agama RI (Tempo, 24 November 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama yang berlangsung saat ini cenderung mengedepankan aspek kognitif (pemikiran) dari pada aspek afeksi (perasaan) dan psikomotorik (perilaku/tindakan). Hasil studi Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, menegaskan bahwa merosotnya moral dan akhlaq peserta didik, disebabkan oleh kurikulum Pendidikan Agama yang terlampau padat materinya, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran hidup beragama secara utuh.
Metodologi Pendidikan Agama kurang mendorong penghayatan terhadap nilai-nilai agama, kurang mampu membangun kesadaran hidup beragama serta menciptakan siswa bermoral. Salah satu pernyataan kritis mengarah pada peran dan tanggung jawab guru Pendidikan Agama. Adakah materi Pendidikan Agama secara kurikuler dan explisit yang menegaskan perlunya kesehatan reproduksi bagi siswa usia remaja yang sedang bergejolak sexualitasnya ? Bagaimana seharusnya mereka membentengi diri dari gelora sexualitas yang tinggi ? Sepertinya materi seperti itu perlu di terapkan di sekolah-sekolah.

-          Kekerasan Mahasiswa
Kasus STPDN yang pernah mewarnai dunia pendidikan, merupakan sejarah yang memprihatinkan dalam perkembangan pendidikan. Perguruan tinggi yang mencetak calon pejabat di lingkungan depdagri ini di kecam habis-habisan. Masyarakat mengusulkan agar sekolah tinggi tersebut dihapuskan. Mereka sangat sinis melihat perbuatan yang dilakukan mahasiswa senior dalam memperlakukan mahasiswa baru dengan cara-cara militerisme.
Apa yang terjadi di STPDN sebetulnya terjadi juga di berbagai perguruan tinggi lainnya. Seperti di Unhas, ditengah kegiatan ospek yang diikuti oleh Mahasiswa baru Unhas, belasan mahasiswa baru tersebut akhirnya dilarikan ke rumah sakit karena cedera dan mengalami patah tulang. Di UIN Makassar juga dikabarkan ada tiga mahasiswa yang terkena tikaman. Hal ini tentu menggambarkan  bahwa betapa kampus-kampus yang bernama perguruan tinggi telah karib dengan kekerasan.
Jika diketahui latar belakang tindakan “senior” dikampus yang hanya untuk disegani, dihormati, ditakuti, atau ajang balas dendam agar semua pendatang baru tunduk kepadanya. Maka sudah pasti perbuatan, tindakan dan cara-cara berpikir itu sudah sangat bertentangan jauh dari sosok dan kepribadian seorang terpelajar, seorang intelektual, seorang yang bergaul dalam lingkup dunia ilmiah, dunia mengandalkan otak bukan otot, dunia mengedepankan akal sehat bukan emosi, dunia yang menjunjung tinggi kreatifitas bukan kebuntuan.
Jika kita mengamati, kasus tawuran atau bentrok mahasiswa antar universitas maupun fakultas, pembakaran kampus, dan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi makin melonjak kuantitasnya. Seakan pimpinan universitas dan pihak pengelola lainnya tidak mampu mencari jalan keluar dari masalah yang rutin muncul setiap kali tiba masa penyambutan mahasiswa baru.
Sesungguhnya hakikat dari sekian banyak tujuan pendidikan dan cita cita didirikannya perguruan tinggi adalah memanusiakan manusia, mengangkat harkat manusia sebagai makhluk berbudaya. Disinilah pentingnya dipahami bahwa setiap perguruan tinggi harus mampu menghasilkan manusia bermartabat, berbudaya, bermoral, pembaharu, kreatif, inovatif berdasarkan spesialisasi keilmuan yang ditekuni.
Sebagai generasi muda, kita patut menyadari bahwa ternyata otak mahasiswa tidak cukup hanya dengan mengisi ilmu pengetahuan semata, tetapi juga harus mengisi kalbunya dengan ajaran moral, tatakrama dan budi pekerti. Sehingga setiap perilakunya cenderung kepada perbaikan dan mampu menghindari kerusakan.

-          Ilmu Tidak Berkah
Seharusnya Negara Indonesia, sudah lama terbebas dari keterbelakangan, terlepas dari kesengsaraan, merdeka dari kebodohan, terbebas dari kemiskinan, terhindar dari perpecahan. karena sebagian dari masyarakat indonesia sudah pandai membaca dan menulis, mampu berkaca diri, mampu berteriak, sudah berbudaya. Indonesia telah memiliki banyak ilmuan, gedung sekolah, taman kanak-kanak, guru teladan, murid teladan, pegawai teladan, sopir teladan.
Setiap tahun Negara Indonesia pun menghasilkan puluhan ribu sarjana, ribuan magister, yang lahir tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga pulang mengenyam pendidikan di berbagai belahan dunia. Indonesia pun memiliki banyak doktor dan professor, hal itu tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa seharusnya negeri ini sudah menjadi bangsa yang besar.
Seharusnya Indonesia, semakin makmur, aman, sejahtera dan sentosa. Karena semakin banyak orang-orang pintar, ilmuan yang ahli di bidang teknologi, kesehatan, pertanian, ekonomi, hukum, ilmu agama, politik dan keamanan semakin hari semakin bertambah jumlahnya, semakin berganti waktu semakin bertambah luas pengetahuannya. Hal ini seharusnya telah menjadikan bangsa indonesia sebagai bangsa yang kuat, semakin bersatu, semakin padu dan semakin mencintai negerinya.
Namun pada kenyataannya, bangsa Indonesia saat ini tenggelam dalam pertikaian tiada akhir, tenggelam dalam perpecahan yang berkepanjangan. Kemanakah semua ilmu-ilmu yang telah dimiliki mereka yang mengenyam pendidikan ? ilmu yang seharusnya membawa manfaat bagi kehidupan manusia secara fisik dan rohani. Atau barangkali ilmu-ilmu yang dimiliki itu tidak membawa manfaat. Ilmu yang seharusnya makin menjernihkan hati untuk mengenal diri sebagai manusia, kenyataannya tidak memberi manfaat, tidak membawa berkah bagi kehidupan negeri.
Maka, saatnya bagi masyarakat Indonesia melakukan perenungan-perenungan tentang gerak akal dan gerak hati, apakah ilmu-ilmu tersebut memang tidak bermanfaat, ataukah salah pemanfaatan, karena mungkin niat yang digunakan juga salah ketika menuntut ilmu di bangku sekolah. Apakah benar ketika menuntut ilmu, untuk memakmurkan bumi dan membebaskan diri dari api neraka, dalam arti kita menuntutnya semata-mata karena rasa pengabdian kepada Tuhan. Ataukah memang menuntutnya untuk memperkaya diri, untuk menyalahkan orang lain, untuk berkuasa, untuk memfitnah orang lain, untuk mementingkan kelompok dan golongan sendiri.
Para generasi muda, sudah sepatutunya menyucikan kembali akal, mata, dan hati. Menyucikan kembali Pendengaran, penciuman, mulut, perut dan tangan. Begitupun setiap langkah yang diambil. Sehingga hati para generasi muda betul-betul siap untuk menerima berkah dari ilmu yang selama ini terhalang oleh kotoran-kotoran dosa yang tanpa sengaja atau memang sengaja dilakukan.

C.    Pendidikan Moral-Pendidikan Karakter
-        Pendidikan Moral
Pendidikan moral merupakan dasar dari sebuah pendidikan karakter. Pendidikan moral mestinya memberikan kepada anak didik yang sedang dalam proses pertumbuhan moral sebuah pengalaman strukturisasi diri yang mendalam. sehingga terbentuklah keseimbangan moral.
Keseimbangan pertumbuhan seseorang ditentukan oleh kemampuannya untuk menghayati hidup bermoral sesuai dengan tahap perkembangan pribadinya. Pendidikan moral mengutamakan sebuah usaha dari individu untuk semakin membentuk dirinya sendiri dan mengafirmasi dirinya sendiri, sehingga ia dapat di sebut sebagai pribadi yang bermoral.
Pendidikan moral dan pendidikan karakter memiliki persamaan karena menerapkan nilai kebebasan sebagai bagian dari kinerja individu untuk menyempurnakan dirinya sendiri, berdasarkan tata nilai moral yang semakin mendalam dan bermutu. Yang membedakan antara pendidikan moral dan pendidikan karakter adalah ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil keputusan.
Dalam pendidikan moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang. Keputusan inilah yang menentukan proses pendefinisian dirinya sendiri apakah ia sebagai manusia menjadi manusia yang baik atau buruk. Pendidikan moral berkaitan dengan keputusan bebas seseorang sesuai kesadaran nuraninya.
Pendidikan karakter, ruang lingkup pengambilan keputusan terdapat dalam diri individu namun keputusan dalam lembaga pendidikan melibatkan struktur dan relasi kekuasaan. Oleh karena itu, pendidikan karakter selain bertujuan menegakkan kemartabatan pribadi sebagai individu, ia juga memiliki konsekuensi kelembagaan (sekolah), yang keputusannya tampil dalam kinerja dan kebijakan lembaga pendidikan.
Terhadap keyakinan moral, keyakinan agama bersifat suportif. Keyakinan agama seseorang membantunya dalam menghayati nilai-nilai moral. Nilai-nilai agama mempertegas dan memperkokoh keyakinan moral seseorang dengan memberinya dasar yang lebih kokoh dan tak tergoyahkan. Ada nilai-nilai agama yang sekaligus memliki kualitas nilai moral. Namun tidak semua nilai yang diyakini oleh agama tertentu memiliki kandungan nilai moral.

-        Pendidikan Karakter
Pendidikan selalu berkaitan dengan proses pembentukan manusia-manusia muda. Karakter merupakan struktur antropologis manusia, dimana manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Pendidikan senantiasa berkaitan dengan dimensi sosialitas manusia.
Pendidikan karakter  merupakan sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Ada dua paradigma dalam pendidikan karakter, yang pertama memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit. Yang kedua melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikanitu sendiri.
Pendidikan karakter yang terutama dinilai adalah perilaku bukan pemahaman. Pendidikan karakter terutama ditujukan pada pemeliharaan jiwa. Jiwa merupakan suatu hal yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya. Didalam jiwanya inilah kita memilih kegiatan berpikir, bertindak, dan menegaskan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Sokrates memberikan visi baru tentang kemanusiaan.kenalilah dirimu sendiri” karena manusia adalah jiwanya, bukan kemampuan berbicara didepan umum.
Pendidikan karakter memerlukan basis kepercayaan yang mendalam, bahwa manusia berkembang bukan hanya memenuhi kodratnya dalam kehidupan bersama masyaarakat, melainkan manusia mampu mengubah dunia sesuai dengan nilai-nilai yang di yakininya, sebab nilai –nilai itulah yang menjadi sumber pembaharu kehidupan masyarakat.

1.         Pendidikan karakter di sekolah
Di Sekolah-sekolah disekitar kita, banyak fenomena perilaku tidak adil dan kekerasan, baik karena intervensi dari pihak luar maupun dari kalangan insan pendidikan sendiri. Akibatnya para siswa, guru, dan masyarakat menjadi korban.
Ada guru yang diteror aparat keamanan dan dikecam pemerinatah karena bersikukuh mempertahankan sekolahnya yang akan di gusur demi sebuah program bisnis. Ada para murid sekolah yang menjadi korban kekerasan dan kejahatan, entah karena konflik politik maupun karena perilaku kriminal biasa, melalui pembunuhan maupun pemerkosaan. Bahkan ada guru yang melecehkan anak didiknya secara seksual. Sekolah yang semestinya memberikan harapan dan optimisme malah menjadikan anak didik kita trauma dan putus harapan.
Berbagai masalah seakan-seakan tidak berhenti di satu topik. Ada seorang anak SD sampai bunuh diri karena merasa malu belum melunasi pembayaran buku pelajaran. Ditempat lain kita temukan sepasang remaja yang tega membuang bayi akibat hubungan gelap yang mereka lakukan. Belum lagi membaca berita seputer maraknya tawuran pelajar. Yang terakhir adalah siswa korban smack down yang jiwanya melayang sia-sia karena permainan dan tontonan kekerasan yang disuguhkan televisi pada masyarakat kita.
Namun kita juga tidak serta merta menuduh bahwa lembaga pendidikan menjadi satu-satunya penyebab demoralisasi dalam masyarakat kita. Inilah salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern yang di sinyalir oleh Jacques Maritain. Karena sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi siswanya.
Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat kita. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama agar pendidikan karakter segara dilaksanakan dalam lembaga pendidikan kita.
Tetapi pada kenyataannya pendidikan karakter nampaknya pelan-pelan semakin hilang dan tampaknya kurang begitu mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan pendidik. Mengapa pendidikan karakter sekarang ini mulai mengalami kemunduran ?
Apakah karena memang lembaga pendiidikan kita telah kehilangan visi, terlalu sibuk dengan program jangka pendek, terlalu terbebani tugas-tugas administratif sehingga lena dan lalai untuk meningkatkan peran penting pendidikan karakter yang memiliki tujuan jangka panjang dan hasilnya tidak secara langsung dapat dirasakan ? Ataukah ada alasan-alasan lain mengapa pendidikan karakter itu tidak mendapatkan respon yang memadai di kalangan para pendidik, para pengambil kebijakan pemerintahan, dan masyarakat.

2.         Pendidikan Karakter di Keluarga
Keluarga merupakan tempat pembentukan anak yang utama, terlebih pada masa-masa awal pertumbuhan mereka sebagai manusia. Dalam hal ini keluarga memilki investasi afeksi yang tidak dapat digantikan oleh peranan lembaga lain di luar keluarga, seperti sekolah, lembaga agama, dan masyarakat.
Keluaraga merupakan sebuah tempat anak-anak menerima pendidikan nilai. Singkatnya, anak banyak belajar dari cara bertindak dan cara berpikir orang tua. Orang tua yang menjadi tempat pertama pembentukan karakter anak. Tetapi tidak jarang bahwa anak justru memperoleh pendidikan yang kurang baik di dalam keluarga sehingga proses penanaman nilai ini tidak terjadi dalam keluarga. Dalam kehidupan keluarga modern misalnya, situasi pendidikan anak bisa menjadi sangat problematis mengingat bahwa orang tua modern memiliki alokasi waktu yang sempit dalam menjaga dan menemani anak mereka dirumah.
                        
3.         Pendidikan Karakter di Masyarakat
Pendidikan karakter disekolah mesti melibatkan masyarakat sekitar, atau masyarakat lokal sehingga pendidikan karakter bertumbuh disebuah lahan yang realistis. Pendidikan karakter dalam hal ini bukan sekedar memaknai masyarakat sebagai tempat di mana pada akhirnya pendidikan karakter itu  mestinya hadir, namun juga menjadi sarana pedagogis bagi masyarakat di luar sehingga mereka pun menjadi satu bahu membahu menyuburkan perilaku dan tata nilai yang berguna bagi tatanan masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, progaram pendidikan karakter apapun tidak dapat melepaskan diri dari tatanan dan sistem nilai di dalam masyarakat lokal yang menjadi sumber pembudaya bagi program pendidikan karakter di sekolah.
Dalam kerja sama dengan media, pendidikan karakter membutuhkan bantuan media untuk menyebarkan gagasan dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam diri anak-anak disekolah. media massa memiliki fungsi yang sangat strategis sebagai sarana nilai-nilai moral dan karakter.
Pendidikan karakter akan menuai hasil yang lebih baik, bukan hanya tertanamnya nilai-nilai itu dalam diri para siswa, melainkan menjadi satu gerakan bersama dalam masyarakat. Pendidikan karakter mestinya merupakan sebuah keprihatinan bersama seluruh bangsa, dan karena itu, negara yang memiliki aparatur di bidang pendidikan semestinya memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk mengembangkan pendidikan karakter.
Yang kita butuhkan adalah kehadiran negarawan dan wakil rakyat yang peka dan cinta akan negara, sehingga dalam dunia politik mereka, mereka memiliki kehendak politik terutama untuk mengutamakan kepentingan rakyat.
Jika anggaran bagi pendidikan masih terasa kecil, mungkin karena alasan krisis ekonomi, atau karena kesalahan keputusan politik yang dilakukakn pemerintah sebelumnya, para negarawan ini sesungguhnya tetap memiliki fungsi edukatif yang membantu pembentukan pendidikan karakter bagi warga negaranya, yaitu , dengan memberikan teladan moral sebagai seorang negarawan sejati.


Kesimpulan
Pesatnya kemajuan teknologi dan komunikasi membuat individu tidak dapat menolak kenyataan bahwa sekarang kita hidup dalam sebuah dunia dimana realsi antara indvidu dan lembaga bisa memiliki jangkauan yang mengatasi batas-batas Negara. Apa yang dilakukan seorang individu dapat mempengaruhi tata kehidupan bersama dalam masyarakat global, dalam arti positif maupun negatif
Menjadi pemuda indonesia memang berat ditambah lagi dengan beban sejarah generasi pendahulu. Secara psikologis pemuda itu serba tanggung: matang belum, kanak-kanak sudah lewat. Secara demografi, Pemuda merupakan elemen demografis yang masih minta diurus, mereka belum mandiri, belum berproduksi. Pemuda, masih lebih sering dipandang sebagai “beban” nasional. Oleh karena itu, secara politisi kita bicara tentang perlunya pemuda dibina.
Para generasi muda sepatutnya harus mampu membentengi diri dari berbagai tantangan zaman dengan berbagai problem moralitas. Para generasi muda pun tetap harus mendapatkan pembinaan dari ruang lingkup keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan, karena pendidikan adalah lahan paling utama untuk para generasi muda meneruskan perjuangan bangsa. Menjadikan bangsa yang berkarakter, bermoral dan berkepribadian.
Ketika masih mahasiswa di bandung, Bung Karno kabarnya pernah menulis, “Dikamar sempit ini nasib bangsa di tentukan”. Secara tidak langsung tulisan itu bermakna bahwa nasib bangsa di tentukan oleh para pemuda. Para pemuda harus mempunyai ambisi dan impian yang kuat untuk maju. Karena pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi. Paulo freire menganggap bahwa mimpi memiliki peran penting yang sangat strategis  bagi proses pertumbuhan personal dan sosial.
generasi muda mesti mempertahankan yang baik dan tidak merusak yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya. Perbuatan baik sekecil apapun yang dilakukan akan memberikan sumbangan besar bagi perubahan dan kebaikan dunia. Mengubah dunia di mulai dari diri sendiri itulah awal setiap pendidikan karakter



DAFTAR PUSTAKA
Jurlan H. M, Cendekiawan & Penguasa: Esai-esai Masalah Pendidikan, Agama, Sosial dan Budaya, elSAS: Jakarta, 2007
Koesoema A. Doni, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Grasindo: Jakarta, 2010
Shomali. Mohamad A, Relativisme Etika, PT.Serambi Ilmu Semesta: Jakarta, 2001
Sobari Muhammad, Moralitas Kaum Pinggiran, Mizan: bandung, 1995
Sunarto, Televisi, Kekerasan, dan Perempuan, PT.Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2009
Tony D. Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia, PT.Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2004.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar